Artinya :
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka ber’ibadah
kepada-Ku”.
(Surah Adz-Dzâriyât (51) : 56).
Ada 4 (empat) hal yang perlu diperhatikan dalam ayat ini :
1. Kata “Menciptakan” - حلق yang artinya : “Mengadakan sesuatu dari tidak ada”.
Ini merupakan salah satu dari perbuatan Allâh yang luar biasa, yang ditetapkan
menjadi salah satu dari nama-nama Allâh, yaitu “Al-Khâliq” - الخالق artinya :
“Yang Maha Pencipta”.
2. Kata “Al-Jin” - الجن yaitu nama jenis dari satu makhluk atau ciptaan Allâh,
Jenis makhluk ini Allâh ciptakan dari nyala api, sebagaimana dalam firman-Nya
dalam surah Ar-Rahmân (55) : 15 :
وَخَلَقَ الْجَآنَّ مِنْ مَّارِجٍ مِّنْ نَّارٍ
Artinya :
“Dan Dia menciptakan jin, dari nyala api”.
Dan jin diciptakan sebelum manusia, lihat firman Allâh surah Al-Hijr (15) : 27 :
Artinya :
...Maka tatkala ia (Sulaimân) telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau
sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa
yang menghinakan”.
Bahkan makhluk ini (Al-Jin) --dengan idzin Allâh-- pernah dikuasai oleh seorang
nabi dari kalangan manusia, yaitu Sulaimân bin Dâwűd a.s. perhatikan surah Sabâ’
(34) : 12-13 :
Artinya :
... Dan sebagian dari jin ada yang berkerja di hadapannya (di bawah kekuasan
Sulaimân) dengan idzin Rabb-nya (12).
Para jin itu membuat untuk Sulaimân apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung
yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam
dan periuk yang tetap berada di atas tungku)..(13).
Dan juga di terangkan dalam surah An-Naml (27) : 17 :
Artinya :
“Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami
mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api (8)”.
Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk
mendengarkan (berita-berita), tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba)
mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah-panah api yang
mengintai untuk membakarnya (9)”.
Dan juga kekuatan mereka diterangkan dalam surah An-Naml (27) ayat 39 :
Artinya :
“Berkata ‘Ifrît dari golongan jin : “Aku akan datang kepadamu --dengan membawa
singgasana itu-- sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku
benar-benar kuat --untuk membawanya-- dan lagi dapat dipercaya”.
Diantara mereka (golongan Jin) ada juga yang shalih (bahkan dari kalangan mereka
ada yang mendengarkan Al-Qur-ân, lalu mereka merasa kagum dan beriman dengannya,
perhatikan surat Al-Ahqâf (46) ayat : 29 s/d 32), dan ada yang kafir,
sebagaimana dalam surah Al-Jin (72) ayat : 11 :
Artinya :
“Dan sesungguhnya diantara kami ada orang-orang yang shalih, dan di antara kami
ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang
berbeda-beda”.
Dan adalah Iblîs (la’natullâh ‘alaih) berasal dari golongan Jin, lihat surah Al-Kahfi
(18) ayat : 50;
Artinya :
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfrman kepada para Malaikat : “Sujudlah kamu
kepada Adam”. Maka sujudlah mereka kecuali Iblîs, adalah dia dari golongan Jin.
Maka dia mendurhakai perintah Rabb-nya..” .
3. Kata “Al-Ins - اْلإِنْسَ , menjelaskan jenis makhluq atau ciptaan Allâh
berikutnya setelah Al-Jin. Allâh SWT. mengawali penciptaan manusia dari tanah
kering dan tanah hitam; sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Hijr (15) ayat 26
;
Artinya :
“Sungguh-sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya”.
4. Tujuan penciptaan Jin dan mnausia, yaitu agar mereka menghamba atau
ber’ibadah kepada-Nya ( لِيَعْبُدُوْنِ ). Jadi, Allâh SWT. menciptakan Jin dan
Manusia dengan tujuan yang sama, yaitu ber’ibadah kepada-NYA.
Makna ‘Ibadah ( الْعِبَدَةِ )
Makna atau arti ‘Ibadah dari segi bahasa adalah “ At-Thâ’ah - الطَّاعَةِ :
“Tunduk dan patuh”. Adapun pengertian ‘Ibadah secara umum ialah :
Artinya :
“’Ibadah itu ialah : tunduk dan patuh, dengan melakukan apa saja yang Allâh
perintahkan melalui lisan (ucapan) para rasul”.
Tujuan Diutusnya Para Rasul :
Allâh SWT. mengutus para Rasul untuk ber da’wah, mengajak manusia ber’ibadah
kepada Allâh dan menjauhi Thâghűt, yaitu segala sesuatu yang disembah selain
Allâh; sebagaimana firman-Nya :
Artinya :
“Maka barangsiapa yang ingkar (menentang) kepada Thâghűt dan berimân kepada
Allâh, sungguh ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat, yang tidak
akan putus..”.
(Surah Al-Baqarah (2) : 256).
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb memberikan komentar yang tegas mengenai
ayat ini, beliau berkata :
Artinya :
“Inilah masalah yang amat besar, bahwa ber’ibadah kepada Allâh tidak akan
berhasil kecuali dengan bersikap ingkar kepada Thâghűt”.
Inilah makna yang dikandung oleh ayat tersebut di atas, dan ini pula makna
kalimat Syahadat : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ , tidak ada --sesuatupun-- yang
disembah selain Allâh”. Dan inilah “Tauhid” yang sebenarnya. Rasűlullâh saw.
bersabda :
Artinya :
“Siapa saja yang berkata : “ Tidak ada --sesuatu pun-- yang disembah selain
Allâh”; kemudian ia mengingkari kepada apa saja yang disembah selain Allâh, maka
haramlah harta dan darahnya”.
(H.R. Muslim).
Apa dan Siapakah Thâghűt Itu ..?
Asal kata Thâghűt - الطَّاغُوْت ; adalah “Thâghâ” - طَغَى ; “Yathghâ - يَطْغَى
yang artinya : جَاوَزَ الْحَدَّ - “Melampaui batas”. Sebagaimana disebutkan
dalam surah Thâhâ (20), ayat : 24 :
إِذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
Artinya :
“Pergilah engkau (Műsâ) kepada Fir’aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas”.
Yang dimaksud “Melampaui batas” - طَغَى dalam ayat ini ialah :
Artinya :
“Ia (Fir’aun) telah melampaui batas dalam kekufuran dan melampaui batas dalam
keburukan”.
Allâh SWT. menyebut Fir’aun telah melampaui batas dalam kekufuran, karena ia
mengaku dirinya “tuhan” dan hal itu ia nyatakan secara terang-terangan,
sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nâzi’ât (79) : 24 :
فَقَالَ أَنَ رَبُّكُمُ اْلأَعْلَى
Artinya :
“Maka ia (Fir’aun) pun berkata : “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi”.
Sedangkan melampaui batas dalam keburukan atau perbuatan buruk --Fir’aun--,
diantaranya ialah membunuh bayi laki-laki dari Banî Isrâ-îl, sebagaimana
disebutkan dalam surah Al-Qashash (28) : 4 :
Artinya :
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan
penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih
anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.
Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Jadi, ta’rif atau definisi Thâghűt - الطَّاغُوْت ialah :
كُلُّ مُجَاوِزٍ حَدَّهُ فِيْ الْعِصْيَانِ
Artinya :
“Semua atau siapa saja yang melampaui batas dalam kema’shiyatan”
Macam-macam Thâghűt :
Thâghűt - الطَّاغُوْت itu banyak, namun Al-Imâm Ibnul-Qayyim menyatakan bahwa
tokoh atau pemimpinnya hanya 5 (lima) :
1. Iblîs (la’natullâh alaih).
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Iblîs berasal dari golongan Jin,
dan dia makhluq yang pertama-kali melakukan pembangkangan, menentang perintah
Allâh, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Kahfî (18) ayat 50 :
Artinya :
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat : “Sujudlah kalian
kepada Adam”. Maka mereka pun sujud kecuali Iblîs. Dia adalah dari golongan Jin,
maka ia mendurhakai perintah Rabb-nya”.
2. Orang yang Disembah Dan Ia Merasa Senang :
مَنْ عُبِدَ وَ هُوَ رَاضِّ
Yang dimaksud disini adalah para pendeta Yahűdî dan Nashranî yang membuat-buat
peaturan agama (syari’at), menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal,
seperti disebutkan dalam surah At-Taubah (9) ayat : 31 :
Artinya :
“Mereka --Yahűdî dan Nashranî-- menjadikan orang-orang ‘alim dan rahib-rahib
mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allâh..”.
Dalam sebuah hadits dari ‘Adi bin Hâtim --salah seorang shahabat yang asalnya
beragama Nashranî-- disebutkan; sesungguhnya ia mendengar Nabi saw. membaca ayat
ini (surah At-Taubah (9) ayat 31), maka ia berkata kepada Nabi saw. :
إِنَّ لَسْنَا نَعْبُدُوْهُمْ
Artinya :
“Sesungguhnya kami tidak menyembah kepada mereka” (orang-orang ‘alim dan
rahib-rahib).
Maka Nabi saw. pun bersabda kepada ‘Adi bin Hâtim :
Artinya :
“Tidakkah jika mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allâh, maka kalian pun
mengharamkannya; dan jika mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allâh kalian
pun menghalalkannya”.
‘Adi bin Hâtim pun menjawab :
بَلَى - “Benar seperti itu”.
Maka Nabi saw. pun bersabda :
فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ -
“Seperti itulah bentuk ‘ibadah atau penyembahan mereka” --kepada orang-orang
‘alim dan rahib-rahib--
(H.R. Ahmad, At-Tirmidzî dan ia menghasankan hadits ini).
3. Orang Yang Menyeru Manusia Untuk Menyembah Dirinya –
مَنْ دَعَا النَّاسَ إِلَى عِبَادَةِ نَفْسِهِ
Yang dimaksud disini adalah para pemimpin sekte, atau para Syaikh Thariqat yang
gemar menipu pengikutnya dengan mengaku-ngaku sebagai wali dsb. Pada umumnya
para Thâghűt dari jenis ini, terdiri dari orang-orang bodoh yang tidak mengerti
atau memahami syari’at .
4. Orang Yang Mengaku Mengetahui Sesuatu Dari ‘Ilmu Ghaib –
مَنِ ادَّعَى شَيْئًا مِنْ عِلْمِ الْغَيْبِ
Yang dimaksud di sini ialah para dukun, tukang sihir, tukang santet, tukang
teluh, tukang ramal, paranormal dsb.
5. Orang Yang Memutuskan Hukum Dengan Selain Al-Qur-ân –
مَنْ حَكَمَ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
Yang dimaksud di sini adalah para pemimpin Negara atau kepala Negara, hakim,
jaksa dan seluruh aparat penegak hukum, yang dalam memutuskan perkara tidak
menggunakan hukum Allâh. Sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Mâidah (5) ayat
44 :
Artinya :
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan --hukum-- dengan apa yang diturunkan
Allâh, maka mereka itu adalah orang-orang fasiq”.
Semua jenis Thâghűt ini harus diingkari oleh siapa saja yang ber’ibadah kepada
Allâh, karena ber’ibadah kepada Allâh dengan ‘Aqidah yang benar, yaitu Tauhîd
hanya bisa terwujud dengan cara mengingkari semua jenis Thâghűt.