Ayat Kursiy adalah ayat ke 255 dalam surah Al-Baqarah; ia merupakan ayat yang paling agung dalam Al-Qur-ân sebagaimana halnya surah Al-Fâtihah merupakan surah yang paling agung. Keterangan ini disebutkan dalam sebuah hadits, dari Ubay bin Ka'ab. Sesungguhnya Rasűlullâh saw. bertanya kepadanya :
Artinya : "Manakah ayat yang paling agung dalam Kitabullâh ?". Ubay menjawab : "Allâh dan Rasul-Nya yang lebih tahu".
Maka Beliau mengulangi pertanyaannya berkali-kali. Lalu Ubay pun menjawab : "Ayat Kursiy". Nabi saw. pun
bersabda : "Semoga 'ilmu itu menjadi kenikmatan bagi-mu ya Abal-Mundzir (panggilan Ubay bin Ka'ab)". (H.R. Muslim. Lihat tafsir Ibnu Katsîr juz I, hal. 304).
Ayat Kursiy disebut ayat yang paling agung karena kandungannya (isi/contentnya) yang menjelaskan tentang Allâh SWT.
dan sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya secara sempurna, sehingga siapapun yang mempelajarinya secara mendalam
kemudian mentaddaburnya atau merenungkannya akan mencapai "ma'rifat", yaitu pengenalan yang sempurna terhadap
Allâh (Ma'rifatullâh).
Al-Imam Ibnu Katsîr dalam Tafsîr-nya menyatakan bahwa ayat Kursiy mengandung 10 (sepuluh) masalah, yaitu :
Masalah Pertama
اللّٰهُ لآ إِلَٰهَ إِلاَّ هُوَ
Perincian ayat ini adalah sebagai berikut :
( اَللَّهُ ) Adalah Ismul-Jalâlah; yaitu nama yang memiliki semua ke-Agungan dan ke-Muliaan .
( لاَ ) Adalah “Lâ nafyun lil-jinsi” : meniadakan semua jenis.
( إِلَهَ ) Artinya : “Ma’bud”; Yang disembah.
( إِلاَّ ) Artinya : kecuali, yaitu “Lil-mutsbit”; untuk menetapkan.
( هُوَ ) Artinya : Dia Allâh.
Inilah kalimat yang teramat Agung; “Kalimat-Tauhid”, yang ketika tertanam di dalam hati akan membebaskannya dari semua ikatan kebendaan (duniawi).
Menumbuhkan keimânan dan rasa cinta (mahabbah) pada Allâh SWT., rasa ingin
berjumpa kepada-Nya, perasaan rela dengan segala keputusan-Nya.
Masalah Kedua
الْحَيُّ الْقَيُّومُ
Disitu terdapat 2 (dua) sifat Allâh yang selalu bergandengan, yaitu : Al-Hayyu ( اَلْحَيُّ ); Artinya : “Yang Hidup”, tidak akan mati.
Al-Imâm Ibnul-Qayyim telah memberikan penjelasan yang baik sekali terhadap sifat
Allâh ini, beliau berkata :
Artinya : “Sesungguhnya Allâh itu Hidup, dan semua kehidupan adalah milik-Nya. Dan
tidak ada sesuatu pun yang seperti Dia dalam kehidupan-Nya” (Lihat Syarhul-‘Aqidatul-Wâsithiyyah oleh Zaid bin ‘Abdul-‘Aziz bin Fayyâdh,
hal 70).
Al-Qoyyűm ( الْقَيُوْمُ ); Artinya : “Yang Berdiri Sendiri”.
Menurut Al-Imâm Al-Qurthubî (الْقَيُوْمُ) berasal dari kata (قَامَ) yang artinya
: ”Berdiri”, adapun maksudnya disini adalah :
أَلْقَائِمُ بِتَدْ بِيْرِ مَا خَلَقَ
Artinya : “Yang tegak, berdiri sendiri untuk mengatur semua yang Dia ciptakan”. (lihat tafsir Al-Qurthubî juz II, hal. 231).
Al-Ustadz Zaid bin ‘Abdul-‘Azîz bin Fayyâdh menjelaskan sifat Allâh tersebut,
beliau berkata :
Artinya : “Maka Dia (Allâh) tegak dengan diri-Nya; Dia tidak membutuhkan siapapun untuk
menopang-Nya, dengan bentuk apapun juga…, bahkan Dia-lah yang menopang kepada
selain-Nya (makhluq), maka selain Dia tidak ada yang mampu menopang dirinya
sendiri kecuali dengan dengan bantuan-Nya”. (Lihat Syarhul-‘Aqidatul-Wâsithiyyah oleh Zaid bin ‘Abdul-‘Aziz bin Fayyâdh,
hal 62).
Berbeda halnya dengan makhluq yang tidak mungkin mampu menopang dirinya sendiri,
karena mereka semua membutuhkan saling ketergantungan antara satu dengan lainnya,
bahkan mereka tidak bisa melakukan apa-apa jika tidak ditopang oleh Allâh SWT.
Maka Al-Hayyu ( اَلْحَيُّ ); merupakan pokok dari semua sifat Dzat (Shifâtudz-Dzât),
sedang Al-Qoyyűm ( الْقَيُوْمُ ) ; adalah pokok dari semua sifat
perbuatan (Shifâtul-Af‘al). Dan 2 (dua) nama Allâh ini sering Rasűlullâh gunakan
ketika Beliau berdo’a kepada Allâh sebagaimana disebutkan oleh Al-Imâm
Ibnul-Qayyim, beliau berkata :
Artinya : “Adalah Nabi saw. ketika sangat bersungguh-sungguh didalam berdo’a, Beliau
berkata –Yâ Hayyu Yâ Qoyyűm—Wahai yang Maha Hidup, Wahai Yang Maha Berdiri
Sendiri”. (Lihat Syarhul-‘Aqidatul-Wâsithiyyah oleh Zaid bin ‘Abdul-‘Aziz bin Fayyâdh,
hal 63).
Masalah Ketiga
لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَ لاَ نَوْمٌ
Rasűlullâh saw. telah menegaskan mengenai hal ini dalam sabdanya :
Artinya :
“Tidak adanya rasa kantuk dan tidur --bagi Allâh--menetapkan (memastikan)
akan kesempurnaan hidup-Nya dan kemandirian-Nya. Karena tidur itu menghilangkan
sifat kemandirian, dan tidur saudaranya mati”. (Lihat Syarhul-‘Aqidatul-Wâsithiyyah oleh Zaid bin ‘Abdul-‘Aziz bin Fayyâdh,
hal 63).
Maksudnya; tidur membuat seseorang menjadi non-aktif, kehilangan daya pikir dan
kekuatan serta tidak mampu melindungi diri sendiri dari serangan yang datang.
Sedang pernyataan “tidur adalah saudaranya mati” merupakan pernyataan
yang sesuai dengan sabda Rasűlullâh saw. :
Artinya :
“Tidur itu saudaranya mati, dan –karena itu—penghuni Sorga tidak akan tidur” (Hadits Shahîh; lihat Silsilatul Ahâditsush-Shahîhah oleh Syaikh Al-Albânî
jilid III hal. 70, no. : 1087).
Masalah Keempat
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَ مَا فِي اْلأَرْضِ
Al-Imâm Ibnu Katsîr memberikan penjelasan yang baik sekali tentang hal ini, beliau berkata :
Artinya : “Ini merupakan khabar (berita) bahwa semua - yang ada di langit dan di bumi - adalah hamba-Nya dan berada di dalam kerajaan-Nya, di bawah paksaan-Nya dan
kekuasan-Nya”.
Selanjutnya Al-Imâm Ibnu Katsîr berkata : ini seperti firman Allâh - dalam surah Maryam (19) ayat 93, 94 dan 95 - sbb :
Artinya : “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi kecuali akan datang pada-Nya - Allâh - Yang Maha Pengasih sebagai hamba (93). Sesungguhnya Allâh telah menentukan jumlah
mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti (94). Dan tiap-tiap mereka akan dating kepada-Nya pada hari qiyâmat dengan sendiri-sendiri”. (Lihat tafsir Ibnu Katsîr, juz I, hal. 309).
Artinya : “Perkataan seseorang yang berniat membantu orang lain, kepada Raja (Penguasa)
berkaitan dengan suatu kebutuhan yang ia minta untuk orang lain tersebut”. (Lihat Nadhratun-Na’îm, jilid VI, hal. 2365).
Adapun “Syafâ’at” di dalam ayat ini mengandung makna yang kedua, yaitu :”
Permohonan seseorang yang --berniat-- membantu orang lain, kepada Allâh
berkenaan dengan suatu kebutuhan yang ia minta untuk orang lain tersebut”,
karena “Syafâ’at” disini berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di hari qiyâmat,
yaitu pada waktu semua manusia berkumpul menghadiri pengadilan di Padang Mahsyar,
sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nabâ (78) ayat 38 :
Artinya : “Pada hari, ketika Ruh (“Malaikat Jibril”) dan para Malaikat berdiri ber
shaf-shaf, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi idzin
kepadanya oleh Rabb Yang Maha Pemurah; dan ia mengicapkan perkataan yang benar”.
Ayat ini menjelaskan bahwa pada saat di Padang Mahsyar nanti tidak seorangpun
yang berbicara kepada Allâh kecuali orang yang mendapat idzin dari-Nya. Demikian
pula menurut Al-Imâm Ibnul-Atsîr, bahwa arti Syafâ’at disini ialah :
Artinya : “Permohonan untuk memperoleh pengampunan dosa dan juga dari
kesalahan-kesalahan yang terjadi di antara mereka (manusia)”. (Lihat An-Nihâyah juz II, hal. 485).
Masalah Kelima ini menyatakan dengan tegas bahwa pada hari Qiyamat tidak
ada seorangpun yang dapat memberikan atau meminta bantuan pertolongan kepada
orang lain, atau memintakan pengampunan kepada Allâh untuk orang lain, kecuali
dengan idzin dari-Nya.
Dan di dalam hadits-hadits yang shahîh disebutkan bahwa orang yang pertama kali
mendapat idzin untuk memberi syafâ’at adalah Rasűlullâh saw. sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Beliau saw. pada hari Qiyamat datang
menghadap kepada Rabb-nya, lalu Beliau sujud dan terus-menerus memuji-Nya.
Beliau saw. tidak langsung memberikan syafâ’at. Kemudian Allâh berfirman
kepadanya :
Artinya : “Angkat-ah kepala-mu, dan bicaralah akan didengar, mintalah akan diberi, dan
berilah Syafâ’at, karena engkau diberi Syafâ’at”. (Lihat Syarah Kitâbut-Tauhîd, hal 214).
Disebutkan dalam sebuah hadits dari Abű Hurairah (r.a.), bahwa ia pernah
bertanya pada Rasűlullâh saw. : “Siapakah manusia yang paling berbahagia karena
mendapat Syafâ’at-mu ?”, maka Rasűlullâh saw. menjawab :
Artinya : “Siapa-saja yang mengucapkan Lâ Ilâha Illal-Lâh dengan ikhlash dari hatinya”. (H.R. Al-Bukhârî dan An-Nasâ-i, Lihat Syarah Kitâbut-Tauhîd hal 214).
Ikhlas artinya murni dan bersih; maksudnya bersih dari Syirik.
Syaikhul-Islâm Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb berkata : “Jadi, Syafâ’at Rasűlullâh
saw. hanya bisa diberikan kepada Ahlut-Tauhîd, orang-orang yang tidak syirik,
yaitu dengan idzin Allâh, dan tidak bisa didapat oleh orang-orang yang syirik (menyekutukan)
kepada Allâh”.
(Lihat Syarah Kitâbut-Tauhîd hal 214).
Al-Imâm Ibnul-Qayyim (rahimahullâh) menjelaskan bahwa Syafâ’at Rasűlullâh saw.
pada hari Qiyamat nanti ada 6 (enam) macam, yang masing-masing diberikan pada
kelompok yang berbeda :
5.1. Syafâ’atul-Kubrâ (Syafâ’at Terbesar) : yang para nabi besar (Ulul-‘Azmi) --yaitu
Âdam, Nűh, Ibrâhîm, ‘Îsa dan Musa– mengundurkan diri dari hal ini. Maka perkara
inipun sampai kepada Rasűlullâh saw., dan Beliaupun berkata : “Aku akan
mengupayakannya”. Peristiwa ini terjadi di Padang Mahsyar, yaitu ketika
semua makhluk meminta kepada masing-masing ‘Ulul-‘Azmi untuk memintakan Syafâ’at
pada Allâh SWT., agar Allâh mengistirahatkan mereka dari beratnya kondisi yang
mereka rasakan di Padang Mahsyar. Dan Syafâ’atul-Kubrâ ini dikhususkan hanya
kepada Rasűlullâh saw. saja, tidak ada yang mendampingi Beliau dalam hal ini.
5.2. Syafâ’at Rasűlullâh saw. kepada calon penghuni Sorga, untuk memudahkan dan
mempercepat mereka masuk kedalam Sorga. Hal ini disebutkan dalam hadits yang
panjang dari Abű Hurairah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhârî dan Muslim.
5.3. Syafâ’at Rasűlullâh saw. kepada golongan pelaku ma’shiat dari ummatnya,
yang seharusnya mereka dimasukkan kedalam Neraka karena dosa-dosanya, namun
Beliau saw. pun memberikan Syafâ’at kepadanya sehingga mereka selamat dari
Neraka.
5.4. Syafâ’at Beliau saw. kepada Ahlut-Tauhîd; yaitu orang-orang yang tidak
menyekutukan Allâh SWT., yang berada di dalam Neraka karena dosa-dosanya.
Hadits-hadits mengenai hal ini adalah muttawatir dari Nabi saw.
Dan para Shahabatpun telah sepakat (ijma’) tentang hal ini, demikian pula para
Ahlus-Sunnah dari masa ke masa. Maka barang siapapun mengingkarinya, ia termasuk
Ahli Bid’ah dan sesat.
5.5. Syafâ’at beliau saw. kepada segolongan Ahli Sorga, untuk menambah ganjaran
(pahala) mereka dan meninggikan derajat mereka di Sorga. Tidak ada seorangpun
yang menentang hal ini. Dan semua Syafâ’at Beliau saw. hanya dikhususkan kepada
Ahlut-Tauhîd; yaitu mereka yang tidak menjadikan selain Allâh sebagai Pelindung
dan Penolong, sebagaimana firman-Nya :
Artinya : “Dan berilah peringatan engkau (ya Muhammad) kepada orang-orang yang merasa
takut jika mereka dikumpulkan kepada Rabb mereka, yang tidak ada bagi mereka
Pelindung dan Penolong selain Dia”. (Q.S. Al-An’âm (6) : 51).
5.6. Syafâ’at Beliau saw. kepada sebagian keluarganya yang kâfir, yang termasuk
golongan Ahli Neraka, sehingga sisksanya diringankan. Dan Syafâ’at Beliau ini,
khusus diberikan kepada Abű Thâlib paman Beliau saja.
(Lihat Syarah Kitâbut-Tauhîd hal 215-216).
Masalah Keenam
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَ مَا خَلْفَهُمْ
Ayat ini menegaskan tentang kesempurnaan ‘Ilmu Allâh, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imâm Ibnu Katsîr :
Artinya : “Ini dalil (ketentuan tertulis) tentang –keluasan-- ‘Ilmu-Nya, yang mencakup
semua yang ada, yang telah lalu, yang sedang berjalan dan yang akan datang”. (Lihat Tafsir Ibnu katsîr juz I, hal. 309).
Inilah yang disebut “Taqdir” yaitu “Ketetapan Yang Tertulis
berdasarkan Ilmu Allâh”, sebagaimana tertulis dalam surah Al-An’am (6) ayat 59 :
Artinya : “Dan disisi-Nya-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan
dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir benih pun dalam kegelapan bumi dan
tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauhul-Mahfűdz).
Ayat diatas menyatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi,
yang ghaib, baik di daratan maupun di lautan dari daun yang gugur sampai dengan
sebutir biji (benih) yang jatuh ke dalam bumi, serta sesuatu yang basah dan
kering, melainkan semua itu diketahui oleh Allâh dan tercatat di Lauhul-Mahfűdz
berdasarkan ‘ilmu-Nya. Jadi, “Taqdir” artinya bukanlah sesuatu keputusan final
yang memaksa manusia.
Ayat ini menyatakan keterbatasan ilmu (pengetahuan) manusia atau apa yang
bisa dijangkau oleh manusia dari ilmu Allâh. Makna ayat ini menurut Imâm Al-Qurthubî
ialah :
Artinya : “Tidak ada yang bisa diketahui oleh seseorangpun kecuali apa yang Allâh kehendaki untuk memberitahukan kepadanya”. (Lihat Tafsir Al-Qurthubî juz II hal. 235)
Masalah Kedelapan
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَ اْلأَرْضَ
Para mufassir berbeda pendapat mengenai makna “Kursiy ( كُرْسِيُّ )”; dan ada 3
(tiga) pendapat yang paling popular, yaitu :
1. Ilmu. Ini merupakan pendapat Ibnu ‘Abbâs; beliau berkata:
Artinya : “Adapun kata Kursiy biasa digunakan untuk makna Kekuasaan. Maka --arti kalimat--
“Sangat luas Kursiy-Nya --meliputi-- langit dan bumi” ialah : “Sungguh luas
kekuasan-Nya pada keduanya (langit dan bumi). Dan merupakan --pengertian-- yang
hakiki dilihat dari sisi akal”. (Lihat tafsir Fî Zhilâlil-Qur-ân jilid I, hal. 423).
3. Makhluk yang terdapat di depan ‘Arsy; sebagaimana dikatakan oleh Al-Imâm
Al-Qurthubî dalam tafsirnya :
Artinya : “Adapun yang disebutkan oleh beberapa hadits bahwa Kursiy itu adalah makhluq
yang terletak di depan ‘Arsy, dan ‘Arsy itu lebih besar darinya”.
Artinya : “Wahai Abű Dzar, tidak ada tujuh langit jika dibanding Kursiy kecuali seperti
cincin yang diletakkan di Bumi yang luas. Dan keutamaan (luasnya) ‘Arsy
dibanding Kursiy, seperti keutamaan (luas) padang pasir dibanding cincin”. (H.R. Al-Ajurî dan Abű Hâtim dalam shahîh Musnadnya. Dan Al-Baihaqî menyatakan
bahwa hadits ini shahîh).
Artinya : “Ayat ini menceritakan tentang besarnya ciptaan-ciptaan (makhluq-makhluq) Allâh
Ta’âlâ, dan diperoleh --kesimpulan-- dari hal ini akan besarnya kekuasaan Allâh
‘Azza wa Jalla...”. (Lihat Tafsir Al-Qurthubî juz II hal. 237).
Kesimpulan Al-Imâm A-Qurthubî ini menjadi titik temu makna kata --Kursiy-- dari
yang kedua dan ketiga yaitu ucapan beliau : “…..dan diperoleh --kesimpulan-- dari hal ini akan besarnya kekuasaan
Allâh ‘Azza wa Jalla…”.
Masalah Kesembilan
وَ لاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا
Al-Imâm Ibnu Katsîr memberikan komentar mengenai ayat ini yang kami ringkas,
beliau berkata :
Artinya : “Tidak memberatkan dan menyusahkan pada-Nya, menjaga langit dan bumi, dan semua
makhluq yang ada di dalam keduanya (langit dan bumi), dan juga yang terdapat di
antara keduanya; bahkan hal itu mudah bagi-Nya dan ringan di sisi-Nya” (Lihat Tafsir Al-Qurthubî juz II hal. 310).
Masalah Kesepuluh
وَ هُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Makna kata "Al-'Alâ" -- الْعَلَي (Yang Maha Tinggi) menurut Al-Imâm A-Qurthubî
ialah :
الْقَاهِرُ الْغَالِبُ لِْلأَسْيَاءِ
Artinya : “Yang Memaksa, Yang menguasai semua perkara”.
Sedangkan makna kata “Al-‘Adzhîm” --الْعَظِيْمُ , (Yang Maha Agung) ialah :
عَظِيْمُ الْقَدْرِ وَ الْخَطَرِ وَالشَّرَفِ
Artinya :
“Yang Maha Agung derajat, kedudukan dan kemuliaan” (Lihat Tafsir Al-Qurthubî juz II hal. 238).
Inilah dua sifat Allâh yaitu : “Al-‘Alâ” -- الْعَلَي (Yang Maha Tinggi) dan
“Al-‘Adzhîm” -- الْعَظِيْمُ , (Yang Maha Agung), sebagai penutup dari ayat yang
mulia ini, yang menetapkan sebuah hakikat, dan mengisyaratkan ke dalam jiwa,
bahwa hanya Allâh SWT. satu-satunya pemilik Ketinggian, yang memiliki kemampuan
memaksakan kehendak-Nya dan menguasai semua perkara; dan pemilik Keagungan dan
Kemuliaan yang tidak mungkin dapat disejajarkan oleh makhluq.