Al qadar adalah takdir Allâh untuk seluruh makhluk yang ada sesuai dengan ilmu
dan hikmah-Nya.
Iman kepada takdir mencakup empat hal:
- Mengimani bahwa Allâh mengetahui segala sesuatu secara global maupun
terperinci, azali dan abadi, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun
perbuatan para hamba-Nya.
- Mengimani bahwa Allâh telah menulis hal itu di "Lauh Mahfudz".
Tentang kedua hal tersebut Allâh berfirman:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالأرْضِ إِنَّ ذَلِكَ
فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allâh mengetahui apa saja
yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam
sebuah kitab (Lauh Mahfudzh)? Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi
Allâh."
(QS. Al Hajj [22] : 70).
Abdullah bin Umar Berkata, "Aku pernah mendengar Rasűlulah bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ
"Allâh telah menulis (menentukan) takdir seluruh makhluk lima puluh ribu
tahun sebelum menciptakan langit dan bumi."
(HR. Muslim).
- Mengimani bahwa seluruh yang terjadi, tidak akan terjadi kecuali dengan
kehendak Allâh . Baik yang berkaitan dengan perbuatan Allâh sendiri maupun yang
berkaitan dengan perbuatan makhluk-makhlukNya.
Allâh berfirman tentang hal yang berkaitan dengan perbuatan-Nya:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ
"Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan Dia pilih…"
(QS. Al Qashash [28] : 68).
Allâh berfirman:
هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ
"Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendakiNya."
(QS. Ălî Imrân [3] : 6).
Allâh juga berfirman tentang sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan makhluk-makhluk-Nya:
وَلَوْ شاءَ اللَّهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقاتَلُوكُمْ
"…Kalau Allâh menghendaki, maka Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap
kamu, lalu pastilah mereka memerangimu…"
(QS. An Nisâ’ [4] : 90).
Allâh berfirman:
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
"… Dan kalau Allâh menghendaki, maka mereka tidak mengerjakannya. Maka
tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan."
(QS. Al An’am [6] : 137).
- Mengimani bahwa seluruh yang ada, wujud, sifat dan geraknya diciptakan oleh Allâh .
Allâh berfirman:
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
"Allâh menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu."
(QS. Az Zumar [39] : 62).
Allâh berfirman:
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
"…dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya."
(QS. Al Furqân [25] : 2 ).
Allâh berfirman tentang Nabi Ibrahim yang berkata kepada kaumnya:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
"Padahal Allâh lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu."
(QS. As Shaffat [37] : 96).
Iman kepada takdir sebagaimana telah Kami jelaskan di atas tidak menafikan bahwa
manusia mempunyai kehendak dan kemampuan dalam barbagai perbuatan yang sifatnya
ikhtiari. Syara’ dan kenyataan (realita) membenarkan pernyataan di atas.
- Secara syara’, Allâh berfirman tentang kehendak manusia:
ذلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَنْ شاءَ اتَّخَذَ إِلى رَبِّهِ مَآباً
"Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabbnya."
(QS. An Naba’ [78]: 39).
Allâh berfirman:
فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
"…maka datangilah tempat kamu bercocok tanam (isterimu) itu bagaimana saja kamu kehendaki…"
(QS. Al Baqarah [2] : 223).
Allâh juga berfirman bahwa manusia memiliki qudrat (kemampuan):
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا
"maka bertakwalah kamu kepada Allâh menurut kesanggupanmu, dengarlah dan taatlah…"
(QS. At Taghâbun [64] : 16).
Allâh berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا
اكْتَسَبَتْ
"Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala dari (kebajikan) yang dikerjakannya serta mendapat siksa dari (kejahatan)
yang dikerjakan…"
(QS. Al Baqarah [2] : 286).
- Secara kenyataan, manusia mengetahui bahwa dirinya memiliki iradat (kehendak)
dan qudrat (kemampuan), dia mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakannya
tergantung kepada dua hal tersebut. Dia juga dapat membedakan antara sesuatu
yang terjadi dengan kehendaknya (seperti; berjalan), dan sesuatu yang terjadi di
luar kehendaknya (seperti; gemetar). Dan kehendak serta kemampuan seorang
makhluk tunduk di bawah iradat (kehendak) serta qudrah (kemampuan) Allâh ,
seperti dalam sebuah firman-Nya:
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ (28) وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ
اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (29)
"(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan
kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki
Allâh, Rabb semesta alam."
(QS. At Takwîr [81] : 28-29).
Karena alam semesta ini seluruhnya milik Allâh, maka tidak ada barang sedikitpun
yang menjadi milik-Nya terjadi di luar ilmu (pengetahuan) serta iradat (kehendak)-Nya.
Iman kepada takdir ini tidak dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan kewajiban
atau untuk mengerjakan maksiat. Kalau itu dijadikan alasan, maka jelas salah
ditinjau dari beberapa segi:
- Firman Allâh :
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا
آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا
إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ
"orang-orang yang menyekutukan Tuhan mengatakan , "Jika Allâh menghendaki,
niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula)
kami mengharamkan barang sesuatu apapun. Demikian juga orang-orang sebelum
mereka yang telah mendustakan (para Rasűl) sampai mereka merasakan siksaan Kami.
Katakanlah, "adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat
mengemukakannya pada Kami? Kamu tidak mengetahui kecuali prasangka belaka dan
kamu tidak lain hanya menyangka."
(QS. Al An’am [6] : 148).
Kalau alasan mereka dengan takdir dapat diterima Allâh , tentu Dia tidak akan
menjatuhkan siksa kepada mereka.
- Firman-Nya:
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ
حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
"(mereka Kami utus) sebagai Rasűl-Rasűl pembawa kabar gembira dan pemberi
peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allâh sesudah diutusnya
para Rasűl. Dan Allâh Maha perkasa lagi Maha bijaksana."
(QS. An Nisâ’ [4] : 165).
Andaikan takdir dapat dijadikan alasan untuk orang-orang yang berbuat dosa,
niscaya Allâh tidak menafikan alasan tersebut dengan diutusnya para Rasűl,
karena terjadinya perbuatan dosa setelah diutusnya para Rasűl, juga terjadi
sesuai dengan takdir Allâh .
- Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib bahwa
Nabi bersabda:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ قَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ أَوْ
الجَنَّةِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: أَلاَ نَتَّكِلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟
قَالَ: لاَ اِعْمَلُوْا كُلٌّ مُيَسَّرٌ، ثُمَّ قَرَأَ
"Setiap diri kalian telah ditulis (ditetapkan) tempatnya di surga atau di
neraka. Ada seorang sahabat bertanya,"Mengapa kita tidak tawakal (pasrah) saja,
wahai Rasűlullâh?" beliau menjawab , "tidak, beramal lah karena masing-masing
akan dimudahkan."
Lalu beliau membaca surat Al Lail ayat 4-7 :
إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى (4) فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (5) وَصَدَّقَ
بِالْحُسْنَى (6) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (7)
"Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya
di jalan Allâh) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)
maka Kami menuntunnya kepada jalan yang benar."
(QS. Al Lail [92] : 4-7).
Jadi, Nabi memerintahkan untuk beramal dan melarang pasrah kepada takdir.
- Allâh memerintah, serta melarang hamba-hamba-Nya, namun tidak menuntut
mereka melakukan sesuatu di atas kemampuan mereka.
Allâh berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
"Maka bertakwalah kamu kepada Allâh menurut kesanggupanmu…"
(QS. At Taghabun [64] : 16).
Allâh berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
"Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…"
(QS. Al Baqarah [2] : 286).
Kalau benar anggapan bahwa manusia tidak memiliki qudrat (kemampuan), iradat (kehendak),
ia terpaksa untuk berbuat sesuatu, artinya ia disuruh mengerjakan sesuatu di
luar kesanggupannya, ini tentu bertentangan dengan ayat di atas. Oleh karena itu,
bila maksiat dilakukan karena kebodohan atau karena lupa, atau karena dipaksa,
maka pelakunya tidak berdosa. Mereka dimaafkan Allâh.
- Takdir Allâh adalah rahasia yang tersembunyi, tidak dapat diketahui
sebelum terjadi, kehendak seseorang untuk mengerjakan sesuatu lebih dahulu
daripada perbuatannya. Jadi, kehendak seseorang untuk mengerjakan sesuatu itu
tidak berdasarkan pada pengetahuannya terhadap takdir Allâh. Dengan ini gagal
alasan melakukan dosa dengan takdir karena tidak ada alasan bagi seseorang
terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya.
- Kita melihat orang yang ingin mendapatkan keduniaan secara layak, dia
akan menempuh jalan yang dapat mewujudkan keinginannya, dan tidak mau menempuh
jalan lain, kenapa dia tidak menempuh jalan lain, lalu berdalih dengan takdir?
Tetapi mengapa dalam urusan agama, ia memilih jalan yang salah dan berdalih
dengan takdir? Padahal dua perkara tersebut sama halnya.
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut:
Kalau di depan seseorang ada dua jalan. Pertama menuju ke sebuah negeri yang
kacau, pembunuhan, perampokan, pelanggaran kehormatan, ketakutan, dan kelaparan
terjadi. Yang kedua menuju ke sebuah negeri yang teratur, keamanan yang
terkendali, kesejahteraan yang melimpah ruah, jiwa, kehormatan, dan harta benda
dihargai. Jalan mana yang akan ia tempuh?
Ia pasti akan menempuh jalan yang kedua yaitu; menuju ke sebuah negeri yang
teratur serta aman. Tidak mungkin orang yang berakal menempuh jalan yang menuju
ke sebuah negeri yang kacau serta menakutkan dengan alasan takdir. Mengapa dalam
hal akhirat ia menempuh jalan yang menuju ke neraka bukan jalan yang menuju
surga, lalu berdalih takdir?
Contoh lain adalah; seorang yang sakit disuruh meminum obat, lalu ia meminumnya
sedangkan dia tidak menyukai obat tersebut. Dan dilarang memakan makanan
tertentu, lalu ia meninggalkannya, sementara dia sangat menyukainya. Semua itu
dikarenakan dia sedang menjalani pengobatan untuk sembuh. Orang ini tidak
mungkin enggan minum obat atau melanggar pantangan dengan memakan makanan yang
dilarang dengan alasan pasrah kepada takdir. Maka Bagaimana seseorang
meninggalkan perintah Allâh dan Rasűl-Nya , atau melakukan larangan Allâh dan
Rasűl-Nya dengan alasan takdir?
- Orang yang meninggalkan kewajiban serta berbuat kemaksiatan dengan alasan
takdir, seandainya dianiaya oleh seseorang, dirampas hartanya dan dilanggar
kehormatannya, lalu orang yang menganiayanya seraya berkata,"Anda jangan
menyalahkan saya, karena kelaliman saya ini adalah takdir Allâh," alasan
tersebut tentu tidak akan dia terima. Maka bagaimana seseorang tidak mau
menerima alasan orang lain dengan takdir di saat dia dianiaya oleh orang lain,
sedangkan ia sendiri beralasan dengan takdir terhadap kelalimannya pada hak
Allâh ?
Diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin khattab menerima laporan tentang
seorang pencuri yang berhak dipotong tangannya. Beliau memerintahkan agar
hukuman dilaksanakan. Maka si pencuri berkata,"tunggu dulu, Amirul Mukminin, aku
mencuri karena takdir Allâh. Umar pun menjawab,"demikian juga kami memotong
tanganmu juga karena takdir Allâh .
Buah iman kepada takdir:
- Tawakkal kepada Allâh disaat mengerjakan sebab, tidak bersandar kepada
sebab itu sendiri, karena segala sesuatu ditentukan dengan takdir Allâh .
- Agar seseorang tidak mengagumi dirinya ketika tercapai apa yang
dicita-citakan. Karena tercapainya cita-cita merupakan ni’mat dari Allâh yang
telah ditakdirkan-Nya dengan memudahkan sebab-sebab keberhasilan. Sedangkan
sifat mengagumi diri akan dapat melupakan syukur kepada ni’mat Allâh.
- Menimbulkan ketenangan serta kepuasan jiwa terhadap seluruh takdir yang
terjadi, tidak gelisah karena hilangnya sesuatu yang disukai atau sesuatu yang
tidak disukai menimpanya. Karena dia tahu bahwa hal itu terjadi dengan takdir
Allâh, Pemilik langit dan bumi dan bahwa hal itu pasti akan terjadi.
Allâh berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ
مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْ لَا
تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ
كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23)
"Tidak suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah ditulis dalam kitab (lauh mahfudh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allâh. (Kami jelaskan
yang demikian itu) supaya kamu tidak berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu dan supaya kamu tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan oleh-Nya
kepadamu. Dan Allâh tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan
diri."
(QS. Al Hadîd [57] : 22-23).
Nabi Muhammad bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلاَ يَكُوْنُ
ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ
خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
"Sungguh menakjubkan perkara orang mukmin. Semua perkaranya baik, dan itu
tidak terdapat pada seorangpun selain orang mukmin. Jika mendapatkan kegembiraan,
ia bersyukur, itu lebih baik baginya. Dan jika ditimpa kesusahan ia bersabar,
itupun lebih baik baginya."
(HR. Muslim).
Dalam masalah takdir ada dua golongan yang tersesat:
Pertama: golongan Jabariyyah. Yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia
melakukan segala sesuatu secara terpaksa, tidak punya iradah (kehendak) dan
qudrah (kemampuan).
Kedua: golongan Qadariyah. Yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia
dalam perbuatannya ditentukan oleh kemauan serta kemampuannya sendiri, kehendak
serta takdir Allâh tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Untuk menjawab pendapat golongan pertama (jabariyyah), dapat digunakan dalil
syara’ dan kenyataan:
- Adapun dalil syara’: Allâh telah menyatakan bahwa manusia
mempunyai kehendak serta menyandarkan perbuatan kepadanya. Allâh berfirman:
مِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الْآخِرَةَ
"…Diantara kamu ada yang menghendaki dunia dan ada pula yang menghendaki
akhirat…"
(QS. Ălî Imrân [3] : 152).
Allâh berfirman:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ
فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ
سُرَادِقُهَا
"Dan katakanlah , kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang
(ingin) beriman hendaklah beriman. Danbarangsiapa yang ingin (kafir) biarlah
kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zdalim itu neraka yang
mengepung mereka.."
(QS. Al Kahfi [18] : 29).
Allâh berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ
بِظَلامٍ لِلْعَبِيدِ
"Barangsiapa mengerjakan amal yang baik, (pahalanya) untuk dirinya sendiri
dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) untuk dirinya sendiri (pula).
Dan sekali-kali Tuhanmu tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya."
(QS. Fushshilat [41] : 46).
- Secara kenyataan: bahwa manusia mengetahui perbedaan antara
perbuatan-perbuatan yang ikhtiari (dapat diupayakan) yang dikerjakan dengan
kehendaknya, seperti makan, minum, dan jual beli, dengan perbuatan yang di luar
kehendaknya seperti gemetar disaat demam, dan jatuh dari tempat tinggi. Pada
perbuatan yang pertama ia dapat mengerjakan dan memilih dengan kemauannya tanpa
ada paksaan. sedangkan perbuatan yang kedua, dia tidak dapat memilih, juga tidak
menginginkan terjadinya.
Pendapat golongan kedua (Qadariyah) dapat dijawab pula dengan dalil syara’ dan dalil akal:
- Dalil syara’: Allâh adalah Pencipta segala sesuatu, dan segala
sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya. Allâh telah menjelaskan dalam Al Qur’an
bahwa perbuatan makhluk-Nya terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا
جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ
مَنْ كَفَرَ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا
يُرِيدُ
"Dan kalau Allâh menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang
(yang datang) sesudah para Rasűl, sesudah datang kepada mereka beberapa macam
keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang
beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allâh menghendaki,
tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allâh berbuat apa yang
dikehendaki-Nya."
(QS. Al Baqarah [2] : 253).
Allâh berfirman:
وَلَوْ شِئْنَا لآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي
لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa
petunjuk (bagi)nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari-Ku;
sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia
bersama-sama."
(QS. As Sajdah [32] : 13).
- Dalil akal: bahwa alam semesta ini adalah milik Allâh dan berada
dalam kekuasaan-Nya. Dan manusia adalah bagian dari alam semesta, ia tidak
mungkin dapat berbuat dalam kekuasaan Si Penguasa kecuali dengan seizin dan
kehendak-Nya.