II. Para Rasul Atau Nabi Pun Bekerja Mencari Nafqah
Mencari nafqah atau bekerja mencari penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup
merupakan kewajiban bagi setiap insân dan juga merupakan perbuatan yang mulia
dalam pandangan Islâm. Apapun jenis pekerjaan itu asalkan halal, dan tidak
bertentangan dengan syari’at. Dan Islâm adalah agama universal yang tidak
membedakan atau mendikotomikan antara kebaikan atau keshalehan dalam ‘ibadah
ritual dengan kebaikan atau keshalehan dalam bekerja mencari nafqah. Keduanya
tidak terpisahkan ibarat dua sisi mata uang.
Para Nabi atau utusan Allâh seluruhnya bekerja mencari nafqah untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka, sebagaimana disebutkan melalui firman Nya :
وَمَا أَرْسَلْنَ قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِيْنَ إِلاَّ إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُوْنَ
الطَّعَامَ وَيَمْشُوْنَ فِيْ اْلآَسْوَاقِ
Artinya :
“Tidaklah Kami mengutus para utusan sebelum engkau (Muhammad) melainkan
sesungguhnya mereka memakan makanan dan berjalan di pasar pasar”.
(Q.S. Al-Furqân (25) : 20).
Al-Imâm Ibnu Katsîr (rahimahullâh) telah memberikan penjelasan yang sangat baik
dalam masalah ini, beliau berkata :
يَقُوْلُ تَعَالَى مُخْبِرًا عَنْ جَمِيْعِ مَنْ بَعَثَهُ مِنَ الرَّسُلِ
الْمُتَقَدِّمِيْنَ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَأْكُلُوْنَ الطَّعَامَ وَيَحْتَاجُوْنَ
إِلَى التَّغَذَى بِهِ وَيَمْشُوْنَ فِيْ اْلأَسْوَاقِ لِلتَّكَسُّبِ وَالتِّجَارَةِ
وَلَيْسَ بمَنَافِ لِحَالِهِمْ وَمَنْصِبِهِمْ
Artinya :
“Firman Allâh Ta'ala ini merupakan informasi tentang seluruh manusia yang
diutus-Nya dari semua utusan (rasul) yang terdahulu, bahwasanya mereka semua
mengkonsumsi makanan, dan membutuhkan konsumsi yang --berupa-- makanan. Dan
mereka juga berjalan di pasar-pasar untuk melakukan pekerjaan dan perniagaan.
Namun, hal itu sama sekali tidak menghilangkan keadaan (keutamaan) dan kedudukan
(kemuliaan) mereka --sebagai utusan Allâh—“.
(lihat tafsir Ibnu Katsir juz III hal. 313).
Disebutkan kata “pasar-pasar” merupakan tempat berkumpulnya manusia dengan
berbagai macam karakter, dari yang paling baik sampai yang paling buruk dapat
dijumpai didalamnya. Dan ayat ini menunjukan bahwasanya para rasul utusan Allâh
itu dalam melakukan kegiatan ekonominya di pasar-pasar, bergaul dan berinteraksi
dengan semua jenis manusia yang ada disana tanpa pilih-pilih.
Mereka bukanlah seperti tokoh spiritual yang tinggal di dalam menara gading dan
sulit untuk ditemui kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Walaupun begitu diri
mereka tetap terpelihara (ma’shűm) tidak terpengaruh atau terkontaminasi, yaitu
4 (empat) shifat dasar mereka yang utama, yaitu “Amanah - (Dipercaya)”, “Shiddîq
- (Benar)”, “Tablîgh (Menyampaikan)” dan “Fathanah (Cerdas)” tetap terpelihara
dengan baik.
Demikian pula halnya dengan Nabi terakhir, Sayyidil-Mursalîn, Muhammad bin
Abdillâh saw. Beliau lahir dalam lingkungan masyarakat yang mencari nafqah atau
mata pencahariannya dengan melakukan perjalanan niaga jauh ke luar batas negeri
mereka. Mereka adalah masyarakat Quraisy yang ketika itu menjadi penduduk kota
suci Makkah Al-Mukarramah. Allâh SWT. telah menurunkan satu surah yang khusus
berbicara tentang mereka, yaitu surah Quraisy, surah ke 106 dalam Al-Qur-ân:
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ (1) إِيْلاَفِهِمْ رِحْلَهَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (2)
Artinya :
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. Kebiasaan mereka bepergian pada musim
dingin dan musim panas”.
(Q.S, Quraisy (106) : 1-2).
Yang dimaksud perjalanan di dalam ayat ini ialah perjalanan untuk berniaga (berdagang),
yaitu pada musim dingin mereka (Quraisy) berniaga ke Yamân, dan pada musim panas
mereka berniaga ke Syâm atau Suriah sekarang ini. Kondisi cuaca dan jauhnya
jarak yang mereka tempuh tidak mempengaruhi semangat kerja mereka. Ayat ini
sekaligus menyatakan bahwa Quraisy bukanlah bangsa pemalas.
Az-Zamakhsyarî telah memberikan keterangan yang sangat jelas tentang ayat ini,
beliau mengatakan bahwa arti (إِيلَافِ ) dalam ayat ini adalah :
إِذَا أَحَبَّهُ وَاعْتَادَهُ وَلَمْ يَنْفِرُ مِنْهُ
Artinya :
“Apabila ia mencintainya, membiasakannya dan tidak jera (jemu) padanya”.
( Lihat Al-Kasysyâf juz IV hal. 807)
Jadi arti lengkap kedua ayat ini adalah :
“Karena kecintaan orang-orang Quraisy, kebiasaan mereka dan tidak jemu-jemunya
mereka untuk melakukan perjalanan berniaga di musin dingin ke Yaman, dan di
musim panas ke Syâm”. Kata-kata ini merupakan pujian terhadap semangat kerja
keras bangsa Quraisy yang tinggal di jantung Sahara yang miskin sumber daya
alamnya dan gersang. Namun, dengan etos kerja mereka yaitu : “cinta”,
“komitmen” dan “tidak pernah jemu” terhadap profesi sebagai saudagar, mereka
berhasil mencapai sukses besar dalam dunia perdagangan dan memperoleh pengakuan
dari bangsa-bangsa besar pada saat itu, terutama imperium Byzantium atau Romawi
Timur dan imperium Persia.
Adapun barang-barang niaga yang dibawa oleh para saudagar Quraisy pada waktu itu
adalah barang dari India dan China, barang produk Persia, Yaman dan Hadhramaut.
Barang niaga tersebut meliputi binatang dan burung yang hidup, pakaian dari bulu
dan kulit binatang, wol Kashmir, parfum, gading yang sebagian besar dari
Ethiopia, mutiara, batu-batu berharga dan yang terpenting adalah sutera.
Diantara hasil pertanian dan kerajinan antara lain cabai, jahe, kayu manis, pala,
nila, kapas halus, kayu hitam dan sandal dari kayu. (Lihat “Asal Usul Dan
Perkembangan Islâm” oleh Asghar Ali Engineer hal. 101). Dan dinyatakan pula
bahwa Imperium Byzantium sangat bergantung pada para pedagang Quraisy untuk
mendapatkan barang-barang tersebut.
Sejarah pun menyebutkan bahwa dalam perjalanan itu mereka mendapat jaminan
keamanan dari penguasa-penguasa di negeri-negeri yang mereka lalui. Ini
menunjukan bahwa mereka (Quraisy) adalah bangsa yang dihormati, karena mereka
memilkiki shifat-shifat yang memang layak mendapat penghormatan yaitu jujur,
akhlaq yang luhur dan etos kerja yang tinggi sebagaimana telah disebutkan diatas.
Dan ini juga merupakan nikmat yang besar dari Allâh SWT. Sehingga dalam ayat
berikutnya Allâh mengingatkan mereka :
فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ (3) أَلَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوْعِ
وَءَامَنَهُمْ مِنْ خَوْفِ (4)
Artinya :
“Maka hendaklah mereka (Quraisy) ber'ibadah kepada Rabb-nya rumah ini (Ka'bah).
Yang telah memberi makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar, dan
mengamankan mereka dari ketakutan”.
(Q.S, Quraisy (106) : 3-4).
Surah ini menegaskan bahwa eksistensi dan kejayaan suatu bangsa adalah terletak
pada sumber daya manusianya, bukan pada sumber daya alamnya. Inilah salah satu
hikmah dipilihnya Rasul terakhir, Muhammad bin ‘Abdullâh saw. dari kalangan
mereka (Quraisy). Sejarah menyebutkan ‘Abdullâh ayah Beliau jatuh sakit dan
wafat dalam perjalanan pulang berniaga dari Syâm. Pada saat itu Beliau masih
berada dalam kandungan ibundanya, Aminah.
Kemudian dalam usia 12 (dua belas) tahun, usia yang masih sangat muda, Beliau
sudah mengikuti jejak kaumnya, diajak oleh Abű Thâlib, paman Beliau ikut serta
dalam rombongan kaumnya melakukan perjalanan berniaga ke Syâm. Dan setelah
mencapai usia dewasa Beliau pun melakukan tradisi tersebut, terutama membawakan
barang dagangan Siti Khadîjah (raddiyallâhu ‘anhâ) ke Syâm. Sehubungan dengan
ini, Beliau saw. bersabda:
مَاأَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ
اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Artinya :
“Tidak ada makanan yang lebih baik dikonsumsi oleh seseorang, kecuali --yang
diperoleh-- dari hasil pekerjaan tangannya. Dan sesungguhnya Nabi Allâh Dâwűd
a.s. makan dari pekerjaan tangannya”
(H.R. Al-Bukhârî).
Rasűlullâh saw. mencontohkan Nabi Dâwűd a.s. di sini tidak lain karena Nabi
Dâwűd a.s. adalah seorang raja, namun meskipun beliau seorang raja, beliau tetap
melakukan pekerjaan mencari nafqah untuk mencukupi kebutuhannya.
Tentang bekerjanya Nabi Dâwűd a.s. mencari nafqah telah disebutkan dengan jelas
sekali dalam Al-Qur-ân :
وَ لَقَدْ ءَتَيْنَا دَاوُدَ مِنَّا فَضْلاً يَا جِبَالُ أَوَّبِي مَعَهُ
وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيْدَ أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِى
السَّرْدِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًا اِنِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya :
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Dâwűd karunia dari Kami, (Kami
berfirman) : "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang
bersama Dâwűd". Dan Kami telah melunakkan besi untuknya. (Yaitu): "Buatlah baju
besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya, dan bekerjalah kalian
sebaik-baiknya, sesungguhnya Aku melihat dengan apa yang kalian kerjakan".
(Q.S. Saba (34) : 10 & 11).
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu karunia Allâh kepada Dâwűd a.s. ialah
memberi kemampuan melunakkan besi dan mengolahnya menjadi baju besi (baju perang).
Dengan cara bagaimana Dâwűd a.s. melunakkan besi..?. Sebagian mufassir ada yang
berpendapat bahwa pelunakkan besi oleh Nabi Dâwűd a.s. tidak menggunakan api,
tetapi melalui proses kekuatan mu'jizat, yaitu secara langsung dengan sentuhan
tangan beliau. Al-Imam Al-Fakhrur-Râzî menjelaskan masalah ini dengan baik
sekali, beliau berkata :
أَلاَنَ اللَّهُ لِدَاوُدَ الْحَدِيْدَ حَتَّى كَانَ فِى يَدِهِ كَالشَّمْعَ وَ
هُوَ فِي قُدْرَةِ اللَّهِ يَسِيْرِ، فَإِنَّهُ يَلِيْنُ بِالنَّارِ حَتَّي
يُصْبِحَ كَالْمِدَادِ الَّذِي يُكْتَبُ بِهِ، وَأَيُّ عَاقِلُ يَسْتَبْعِدُ ذَلِكَ
عَلَى قُدْرَةِ اللَّهِ ؟
Artinya :
"Mungkin saja Allâh melunakkan basi kepada Dâwűd sehingga di tangannya
--menjadi-- seperti lilin, dan hal itu --jika dilihat-- dari qudrat (kekuasaan)
Allâh sangatlah mudah; akan tetapi sebenarnya ia (Dâwűd) melunakkannya dengan
api sehingga menjadi seperti tinta yang digunakan untuk menulis, dan orang yang
ber'aqal tidak menganggap hal itu mustahil --bila dilihat-- dari qudrat Allâh
juga".
(lihat Shafwatut-Tafasir juz XIII hal 7).
Al-Imâm Al-Qurthubî memberikan komentar yang menarik tentang kandungan kedua
ayat ini, beliau berkata :
فِيْ هَذِهِ اْلآَيَةِ دَلِيْلٌ عَلَي تَعَلُّمِ أَهْلِ الْفَضْلِ الصَّنَائِعَ، وَ
أَنَّ التََّحَرُّفَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ مَنَاصِبِهِمْ، بَلْ ذَلِكَ زِيَادَةً
فِيْ فَضْلِهِمْ وَ فَضَائِلِهِمْ إِذْ يَحْصُلُ لَهُمُ التَّوَاضَعُ فِيْ
أَنْفُسِهِمْ وَاْلإِسْتِغْنَاءُ عَنْ غَيْرِهِمْ، وَكَسْبُ الْحَلاَلِ اْلخَلِىُّ
عَنِ اْلإِمْتِنَانِ
Artinya :
"Kandungan ayat ini menjadi dalil --yang menunjukan--, bahwa orang yang telah
begitu banyak mendapat karunia --dalam hal ini Nabi Dâwűd a.s. yang juga seorang
raja-- masih juga mempelajari teknik perindustrian. Dan melakukan pekerjaan
mencari nafqah dengan cara itu sama sekali tidak mengurangi kedudukan mereka,
bahkan menambah karunia dan berbagai keutamaan bagi mereka, karena hal itu akan
menimbulkan rasa rendah hati (tawadhu') dalam diri mereka dan juga ketidak
tergantungan kepada orang lain. Dan --melakukan-- pekerjaan yang halal, bersih
dari omongan negatif".
(Lihat tafsir Al-urthubi juz VII hal. 553).
Dalam sebuah hadits yang lain, Rasulullah saw. bersabda mengenai pekerjaan Nabi
Zakariyyâ a.s. :
وَ كَانَ زَكَرِيَّا نَجَّارًا
Artinya :
"Zakariyyâ adalah seorang tukang kayu"
(H.R. Ibnu Majah juz II hal. 727).
» Para Rasul Atau Nabi Tidak Menjadikan Da’wah Sebagai Mata Pencaharian «
Tidak seorang nabi pun yang menjadikan tugas da’wah mereka sebagai sarana
mencari nafqah, Al-Qur-ânul-Karîm telah menyebutkan masalah ini, diantaranya
ucapan Nabi Nűh a.s. :
وَ يَاقَوْمِ لآ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالاً، إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللَّهِ
Artinya :
"Wahai kaum-ku, aku tiada meminta harta benda kepada kalian, --sebagai upah--
bagi da'wah-ku. Upah-ku hanyalah dari Allâh ..."
(Q.S Hud (11) : 29).
Demikian pula dalam surah Asy-Syu'ara, terdapat pernyataan yang sama dari Nabi
Nűh, Nabi Hűd, Nabi Shâlih, Nabi Lűth dan Nabi Syu’aib, yaitu :
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرِ إِنْ أَجْرِيَ إَلاَّ عَلَى رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ
Artinya :
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah pada kalian atas da’wah itu; upah-ku tidak
lain hanyalah dari Rabb semesta alam”.
(Q.S. Asy-Su’arâ (26) : 109, 127, 145, 164 & 180).
Seperti inilah sikap seluruh para Nabi, mereka tidak meminta upah atas da’wah
yang mereka sampaikan kepada ummatnya, dan itu merupakan bukti kebenaran da’wah
mereka, sebagaimana disebutkan dalam surah Yâsîn :
وَ جَاءَ مِنْ أَقْصَا الْمَدِيْنَهِ رَجُلٌ يَسْعَي قَالَ يَاقَوْمِ التَّبِعُوْا
الْمُرْسَلِيْنَ (20)
اتَّبِعُوْا مَنْ لاَ يَسْئَالُكُمْ أَجْرًا وَ هُمْ مُهْتَدُوْنَ (21)
Artinya :
“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan tergesa-gesa ia berkata
:”Hai kaum-ku. Ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang yang tiada meminta
upah kepada kalian, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.
(Q.S. Yâsîn (36) : 20, 21).
Ayat ini menyatakan salah satu syarat atau dalil “benarnya” sebuah da’wah adalah
tidak disertai dengan tujuan-tujuan komersial, sebagaimana penegasan ayat 21 di
atas :
اتَّبِعُوْا مَنْ لاَيَسْأَ لُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ
Artinya :
“Ikutilah orang yang tiada meminta upah kepada kalian, dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Adapun yang dimaksud tidak meminta upah disini menurut Al-Imâm Ibnu Katsîr
adalah tidak meminta upah atau imbalan atas da’wah yang mereka sampaikan.
Seperti itulah sikap seluruh nabi dan para utusan (rasul).